1000 Langkah tanpa
Lelah
Kamis, 24 Agustus 2017,
Masih di bulan Agustus dan
tentunya masih dengan semangat 45 nya, kami ada aku, Heny, Samsi, dan Epin
(anak kos BuTutik) berhasil merealisasikan rencana beberapa hari yang lalu.
Rencana yang berakhir dengan agenda, bukan wacana. Tidak seperti sebelum-
sebelumnya.
Berangkat Kamis pagi pukul 6.30,
yang seharusnya dijadwalkan akan berangkat pukul 5.00, sudah wajar bagi kami.
Tidak hanya kami, bahkan warga Indonesia pada umumnya. Suatu kebiasaan tidak
disiplin waktu yang dianggap tidak ada yang salah, tetapi aneh jika ada orang
yang benar-benar disiplin dengan ketepatannya. Intinya, yang salah dianggap
biasa, sedangkan yang benar dianggap aneh. Itulah perkembangan manusia sesuai
rotasinya.
Pertama, kami singgah sebentar di
rumah Epin. Kami tiba 2 jam lebih setelah keberangkatan yaitu kira-kira pukul
8.40 WIB. Lokasinya tepat di Kecamatan Rongkop, salah satu kecamatan di Gunung
Kidul yang letaknya sudah berbatasan dengan Pracimantoro Jawa Tengah. Rongkop
sudah termasuk kecamatan . . . .
Singgah sebentar di rumah Epin,
kami menikmati suguhan sisa-sisa rasulan semalam. Sebuah tradisi dari Gunung
Kidul yang dilakukan setelah panen tiba. Bertujuan tak lain adalah sebagai
upaya bersih desa dari hal-hal yang tidak diinginkan. Rasulan dilakukan selama
satu hari penuh, dengan acara berpusat di balai desa. Tiap desa sudah
menetapkan waktunya masing- masing. Sedangkan tiap rumah/ tiap keluarga di minta
untuk menyajikan makanan sesuai pembagian masing-masing. Acara terdiri dari doa
bersama dan penampilan dari kesenian tradisional setempat.
Kami belum memastikan tujuan
wisata kami mau kemana. Ngobrol sedikit dengan Tatung (panggilan untuk kakek
Epin), beliau menyarankan bahwa pantai Wediombo merupakan pantai terdekat dengan
lokasi kami saat ini. Walaupun anak lokal, Epin tak tahu arah tujuan yang harus
dilalui. Saatnya kami gunakan aplikasi canggih era sekarang, google map. Sebuah
aplikasi andalah bagi mereka yang tidak tahu arah. Segala macam lokasi dapat
dengan mudah ditelusuri, hanya dengan modal gadget dengan quota internet.
Itulah teknologi keluaran manusia modern musim ini. Entah apa lagi teknologi
yang akan diluncurkan manusia 10 tahun kedepan. Mungkinkah ada pintu ajaib yang
langsung bisa menghubungkan antara satu tempat dengan tempat lain, semacam
pintu ajaib doraemon??
Perjalanan kami mulai kira-kira
pukul 10.00 WIB. Awalnya ragu dengan perjalanan ini. Perjalanan yang hanya
bermodal GPS dan dengan nyali kami yang tipis. Tak lain yang menguatkan kami
adalah niat dan nekat. Memang tujuan awal kami ke Gunung Kidul adalah tak lain
untuk menyusuri pantai.
Kami lalui jalanan penuh tikungan
tajam, kanan kiri jurang, jalan berbatupun masih ada. Pandangan di fokuskan
hanya pada jalanan. Sedikit cemas, takut dan kebetulan posisiku yang
mengendarai sepeda motor saat itu. Ada satu nyawa teman yang ku kendalikan saat
iitu. Oleng sedikit selesai sudah perjalananmu teman.
Kira- kira 40 menit perjalanan
dari rumah Epin ke pantai pertama yang kita kunjungi, yaitu pantai Jungwok yang
letaknya di Kecamatan Girisubo. Terbayar
sudah perjalanan yang menegangkan ini. Pantai dengan pasir putihnya yang indah,
bukit di kanan kiri pantai, dan kebetulan kunjungan kami pada weekday sehingga
pengunjung juga tidak terlalu ramai. Hampir jam 11.00, matahari mulai memuncak
di atas ubun-ubun. Kami putuskan untuk singgah agak lama menikmati suasana
pantai dengan menyewa tikar yang sudah tersedia dan menyantap bekal yang sudah
kami bawa dari rumah Epin, sambil kami menunggu waktu zuhur tiba. Ngobrol, curhat,
seru-seruan, nggak cuma asyik foto-foto, selfie-selfie, kali ini perjalananku
bisa benar-benar dinikmati.
Jam 13.00 kami melanjutkan
perjalanan. Sesuai dengan pengarahan dari mbak-mbak pemilik warung yang baik
hati, kami akan menyusuri beberapa pantai. Ada 5 macam pantai yang akan kami
susuri. Namun harus dengan sedikit pengorbanan, berupa pengorbanan tenaga
khususnya.
Titik awal kami berjalan dari
arah terminal. Sempat bingung, jalan mana yang akan dilalui. Kamipun bertanya
pada bapak penjaga terminal. Ternyata sudah ada petunjuk di setiap tikungan.
Tak disangka, jalan yang kami lalui tidak seperti yang kami bayangkan. Jalan
setapak yang cuma bisa dilewati satu orang, melewati perkebunan warga, kandang
sapi yang luar biasa baunya. Tak sedikit juga kami menemui gua-gua yang masih
menyeramkan. Awalnya kami ragu dengan perjalanan yang begitu jauh. Masih ada
beberapa bukit didepan mata yang masih harus dilewati. Sempat kami berpikir
untuk mengurungkan niat dan kembali ke titik awal. Untungnya salah satu dari
kami merupakan penggiat pramuka yang juga hobi dalam berpetualang. Dialah yang
selalu menguatkan kami untuk selalu melangkah ke tujuan akhir kami. Menurutnya,
sesuatu yang diawali dengan perjalanan berat maka hasilnya pasti akan
memuaskan.
Tidak salah memang kalimat itu.
Kami telah sampai ke pantai yang kedua, panta Greweng. Masih sama seperti
pantai sebelumnya. Pasir putih, dua bukit. Kebetulan saat kami tiba disini,
ombaknya sedikit surut. Walaupun saat kami mulai turun menyapa ombak, salah
satu dari kami langsung terguyur ombak. Karena memang sudah kodratnya, kalau
main ke pantai itu sudah semestinya basah-basahan dengan si manja ombak.
Selanjutnya perjalanan kami ke
bukit Kalong. Bukan pantai, ini sejenis bukit yang berhubungan langsung dengan
pantai di bawahnya. Ada satu bukit lagi yang berdekatan, dengan jembatan kecil
yang menghubungkan keduanya. Dengan tarif 15k, pengunjung bisa beralih ke bukit
seberang. Tak sempat kami menyeberangi jembatan, kami hanya melihat dari
kejauhan. Banyak hal yang kami perhitungkan, waktu dan terutama uang saku dari
emak yang mendingan dibuat makan siang.
Sebentar saja waktu kami di bukit
Kalong. Kamipun beralih ke pantai selanjutnya, pantai Sedehan. Tata letaknya
hampir sama seperti pantai Greweng.
Pantai pasir putih, dan dua bukit di kanan kirinya. Hanya saja kami tak sempat
bermain air. Kami sudah terlalu lelah dengan perjalanan. Kami berpikir, masih
adakah sisa-sisa tenaga yang bisa kami keluarkan untuk bekal kembali ke titik
awal nantinya? Jalan pulangpun kami ragu ke arah mana.
Untungnya, kami menemukan
sepasang pujangga yang berhasil kami buntuti kepulangannya. Kami mengikutinya
hingga ke sebuah warung makan, sepeda motor mereka ternyata sudah menyapanya
mengajak pulang. Kami ditinggal, disuruh mencari jalan pulang sendiri. Hanya
ada bapak pemilik warung yang bisa kami gali informasi mengenai jalan pulang.
Menurutnya kami bisa sampai ke titik awal kami kira- kira dalam perjalanan 1
jam. Kamipun dibuat shok seketika.
Perjalanan pulang masih sama
seperti saat keberangkatan awal tadi. Masih naik turun bukit, hutan, kandang
sapi, perkebunan, dan warna- warni alam lainnya yang menemani kami. Energi
sangat kami hemat, berhenti sejenak saat benar-benar lelah, sambil menikmati
sisa bekal tadi dan menenggak air mineral dari satu botol untuk empat mulutpun
kami mulai biasa. Saat lelah mulai reda, kami lanjutkan perjalanan. Dan
akhirnya tidak seperti yang diperkirakan bapak warung tadi. Perjalanan tidak
sampai makan waktu 1 jam, kami telah tiba di titik awal, terminal lama.
Legaa benar- benar lega, bisa
kembali ke rumah masing- masing dengan pengalaman yang begitu mengesankan.
Terimakasih untuk teman- teman yang telah meluangkan waktu untuk merealisasikan
rencana yang aku buat jauh- jauh hari. Itu memang rencana yang benar- benar aku
inginkan. Setelah merasakan stres dan penat dari rangkaian kurikulum ini, aku
memang ingin sekali keluar ke alam, mencari hal- hal baru yang luar biasa
seperti perjalanan saat ini.
Dan petualangan ini nggak hanya
berhenti sampai disini aja. Next trip kita kemana lagi yaaa???

Tidak ada komentar:
Posting Komentar